Selasa, 13 Juli 2010

Prasasti Cibadak



Sejarah tentang Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja diketahui setelah Pleyte menemukan prasasti Cibadak. Kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).

Sebelum ditemukannya prasasti Cibadak, sejarah ditatar Sunda seakan-akan berhenti tidak diketahui ujungnya, sehingga penemuan prasasti Cibadak menemukan arah yang jelas tentang kekuasaan di tatar Sunda pada masa lalu. Namun siapakah Sri Jayabupati, dan darimanakah leluhurnya ?. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat masih ada versi yang berpendapat bahwa Sri Jayabupati berasal dari luar tatar Sunda.

Leluhur Sri Jayabupati
Sepeninggalnya Prabu Darmaraksa dari Galuh yang menjadi Raja Sunda Ke-9, tahta Sunda ke-10 diwariskan kepada Prabu Windu Sakti, putranya, dengan gelar Prabu Dewageung Jayeng Buana (895-913 M). Ia digantikan oleh putranya, yakni Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916). Prabu Pucukwesi hanya memerintah selama tiga tahun, karena ia di kudeta oleh adiknya sendiri, Rakeyan Jayagiri, bergelar Prabu Wanayasa (916 – 942 m).

Raja berikutnya adalah Rakeyan Watuageng, dengan gelar Praburesi Atmayadarma (942–954 m), menantu Prabu Wanayasa. Ia digulingkan oleh Sang Limbur Kancana, putra dari Pucukwesi. Untuk kemudian Sang Limbur Kancana berkuasa pada tahun 954 sampai dengan 964 masehi. Berdasarkan asumsi penulis sejarah RPMSJB, kemungkinan besar ia memerintah Sunda dari Galuh, karena ia beristri salah seorang putri Galuh, keturunan Manarah. Pasca digulingkannya tahta ayahnya oleh Prabu Wanayasa, ia menetap di Galuh. Pada saat meninggal ia bergelar Sang Mokteng Galuh Pakwan (yang wafat di keraton Galuh).

Raja berikutnya adalah putranya, yakni Rakeyan Sunda Sembawa (964–973 M), bergelar Prabu Munding Ganawirya Tapakmanggala Jayastru (mungkin juga Jagasatru), namun raja ini tidak memiliki keturunan. Ia digantikan oleh suami adiknya, yakni Rakeyan Jayagiri (973- 989 M), bergelar Prabu Wulung Gadung. Stelah dipusarakan di Jayagiri ia digantikan oleh putranya, yakni Rakean Gendang atau Prabu Brajawisesa (989 – 1012 M). Kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M) yang wafat dipertapaan, sehingga disebut Sang Mokteng Patapan. Setelah wafat ia digantikan oleh putranya, yakni Prabu Sanghyang Ageung (1019 – 1030 M), ia dipusarakan di tepi Situ Sanghyang, terletak di Desa Cibalarik – Tasikmalaya. Dan inilah leluhur Sri Jayabupati (1030 – 1042 M).

Sri Jayabupati
Pada masa raja-raja diatas seolah-olah Sunda kehilangan catatan sejarah. Baru diketahui jujutannya kembali pada Masa Sri Jayabupati atau Prabu Detya Maharaja, raja Sunda ke-20 dari alur Tarusbawa. Keberadaan Sri Jayabupati terungkap setelah Pleyte (1915 M) menemukan prasasti Cibadak– Sukabumi.

Setelah Pleyte menemukan prasasti Cibadak, kemudian Pleyte menulis artikel “Maharaja Cri Jayabupathi Soenda’s Outdst Bekend Vorst”, dengan mengetengahkan transkip mengenai “Prasasti Cibadak”. (RPMSJB, Buku Ketiga, hal 10).

Prasasti Cibadak terdiri dari 4 buah batu bertulis yang ditemukan dialiran Sungai Citatih. 1 batu ditemukan di kampung Pangcalikan, sedangkan 3 batu ditemukan di Bantar Muncang, Kecamatan Cibadak, Sukabumi. Menurut para ahli sejarah, prasasti tersebut dibuat pada tanggal 11 Oktober 1030.

Dalam menjelaskan Sri Jayabupati, menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, namun juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa.

Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Datia Maharaja yang berkuasa selama tujuh tahun. Urutan dari sirsilah Sri Jayabupati dari Banga berdasarkan, diuraikan, sebagai berikut :

· Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun kana adat kabiasaan anu bener. - Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun. - Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun. - Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun. - Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah lampah, daek ngala awewe ku awewe. - Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun. - Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun. - Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun. - Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.

Prasasti Cibadak
Batu tersebut saat ini disimpan di Musium pusat, diberi nomor D-73, D-96, D-97 dan D-98.

D 73 :
//O// ''Swasti shakawarsatita 952
karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-
ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri-
ka diwasha nira prahajyan sunda ma-
haraja shri jayabhupati jayamana-
hen wisnumurtti samarawijaya shaka-
labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-
mottunggadewa, ma-''

D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak
ginaway denira shri jayabhupati prahajyan
sunda. mwang tan hanani baryya baryya cila. I
rikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan
i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak
wates kapujan i wungkalagong kalih
matangyan pinagawayaken pra-
sasti pagepageh. mangmang sapatha.'

D 97 :
sumpah denira prahajyan
sunda. lwirnya nihan.

D 98 :
indah ta kita kamung hyang hara agasti phurbba
daksina paccima uttara agniya neri-
ti bayabya aicanya urddhadah rawi caci patala jala
pawana
hutanasanapah bhayu akaca teja sanghyang mahoratra
saddhya yaksa raksa-
sapicara preta sura garuda graha kinara mahoraga
catwara lokapala
yama baruna kuwera bacawa mwang putra dewata pan-
ca kucika nandiwara mahakala du-
rggadewi ananta surindra anakta hyang kalamrtyu
gana bhuta sang prasidha milu manarira
umasuki sarwwajanma ata regnyaken iking sapatha
samaya sumpah pamangmang na lebu ni pa-
duka haji i sunda irikita kamung hyang kabeh .......
paka-
dya umalapa ikan .......
i sanghyang tapak ya
patyananta ya kamung hyang denta
t patiya siwak kapalanya cucup uteknya belah dada
mya imun rahnya
rantan ususnya wekasaken pranantika ......
...... i sanghyang kabeh
tawathana wwang baribari cila irikang Iwah i
sanghyang tapak apan
iwak pakan parnnahnya kapangguh i sanghyang ...
..... maneh kaliliran
paknanya kateke dlaha ning dlaha ....
.... paduka haji sunda umade-
makna kadarman .... ing samangkana wekawet
paduka haji sunda sanggum
nti ring kulit kata karmanah ing kanang ...
... i sanghyang tapak makatepa
iwah watesnya i hulu i sanghyang tapak i ....
...... i hilir mahingan i-
Rikang ..... umpi ing wungkal gde kalih. I
Wruhhanta kamung
hyang kabeh ??Q?? (RPMSJB, Jilid Ketiga, hal 12)

Terjemaahan dari prasasti tersebut pada initinya, berintikan tentang :

Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwana mandaleswaranindita Haro Gowar dhana Wikramottung gadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak.

Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak sebelah hulu sampai batas daerah kabuyutan sanhyang tapak dibagian hilir pada dua buah batu besar.

Untuk tujuan tersebut telah dibuat piagam yang dikukuhkan dengan seruan, kutuk serta sumpah oleh raja Sunda yang bunyi lengkap demikian :

Sungguh indah kamu sekalian Hiyang Siwa, Agatsya, timur, selatan, barat, utara, tenggara, barat daya, barat laut, timur laut, zenith, nadir, matahri, bulan, bumi, air, angin, sernja, yaksa, raksasa, pisaca (sebangsa peri), sura, garuda, buaya, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa dan putera dewata Pancakusika, lembu tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi Durga, Ananta (dewa ular), Surindra, putra Hyang Kalamercu, gana (makhluk setengah dewa), buta (sebangsa raksasa), para arwah semoga ikut, menjelma merasuki semua orang, kalian gerakanlah supata, janji, sumpah dan seruan raja Sunda ini.

Prasasti Cibadak menerangkan bahwa Sri Jayabupati telah membuat tapak disebelah timur kabuyutan sanghyang tapak. Dibagian sungai yang menjadi batas daerah kabuyutan tersebut orang dilarang menangkap ikan. Mungkin pada saat itu penduduk disekitar prasasti sangat taat terhadap keyakinannya dan sangat takut terhadap kekuatan gaib, sebagaimana ciri masyarakat agraris lainnya, sehingga tanpa hukum kerajaan pun mereka akan taat dan mengikuti himbauan tersebut.

Suatu hal yang merupakan ciri umum, prasasti-prasasti di tatar Sunda (sejak masa Tarumangara) pada umumnya ditemukan di bekas lokasi kabuyutan, seperti prasasti Kawali, prasasti Galunggung dan Batutulis, namun tak pula dapat dihindari jika prasastu tersebut banyak pula yang ditemukan di bantara sungai, seperti prasasti ciaruteun dan kebon kopi. Dalam hal ini menandakan bahwa peranan kabuyutan dan sungai memiliki peranan yang sangat vital dimasa lalu.

Keberadaan prasasti di Cibadak pernah menjadi spekulasi bagi para ahli sejarah. Pertama, tentang pusat pemerintahan Sunda waktu itu, tak kurang para ahli yang mensinyalir bahwa ibukota Sunda pernah ada di wilayah tersebut. Namun keberadaan prasasti di kabuyutan tersebut tentunya tidak berarti harus menjadi pusat pemerintahan, karena kabuyutan memiliki peranan yang strategis dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik sebagai daerah yang disucikan maupun tempat menuntut ilmu.

Kedua, prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuna dianggap daerah ini pernah menjadi bawahan Raja Erlangga. Namun jika dilihat dari tanggal pembuatannya, tidak mungkin Erlangga berada diwilayah ini, mengingat ketika itu ia disibukan menundukan kerajaan disekitar Jawa Timur, baru selesai setelah lima tahun ia berkuasa. Keberadaan prasasti Cibadak di sekitar Citatih dianggap tidak lajim jika dibuat oleh raja bawahan.

Perkawinan
Menurut naskah Wangsakerta, tanda tersebut memang dibuat oleh Sri Jayabupati sebagai tanda penobatannya. Sri Jayabhupati dikenal-kenal memerintah Sunda pada tahun 1030 – 1042 masehi, ia putra Sanghyang Ageung yang dipusarakan di Situ Sanghyang. Namun sampai sekarang belum terungkap hubungannya dengan makam keramat yang ada di Situ Sanghyang Cibalanarik, Tasikmalaya.

Penggunaan corak Jawa Timuran didalam prasasti tersebut dapat dipahami, mengingat Sri Jayabhupati adalah menantu Prabu Darmawangsa dari Jawa Timur. Ia memperistri adiknya Dewi Laksmi, istri Erlangga. Antara Erlangga dengan Sri Jayabhupati memiliki mertua yang sama. Sedangkan gelar Sri Jayabhupati adalah hadiah perkawinan dari mertuanya, sama halnya dengan gelar yang diterima Erlangga.

Sri Jayabhupati juga memperistri putri melayu, putra mereka kemudian berjodoh dengan putri Sriwijaya. Selain itu, dua orang putri Sri Jayabhupati juga diperistri oleh menteri dari Bali dan Jawa Timur. Demikian pula kemenakannya, ada pula yang diperistri oleh Raja Wura wuri. Konon raja ini membunuh Darmawangsa, kemudian didalam prasasti Calcutta dikenal dengan itsilah pralaya. Darmawangsa disebut pula Sang Mokteng Kadatwan ( yang gugur di keraton).

Kisah pembunuhan Darmawangsa konon kabar merupakan pemberontakan Sriwijaya yang dilakukan tidak langsung. Hal ini dianggap sebagai balas dendam Sriwijaya, mengingat sejak tahun 900 an Sri Wijaya harus tunduk kepada Darmawangsa setelah menderita kekalahan dalam pertempuran. Untuk itulah Sriwijaya menggunakan tangan Wurawuri.

Tentang kekerabatan ini, diuraikan dalam Pustaka Nusantara I/2, :

“Mangkana ta hana pakadangan pantara raja Criwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Tguh mwang raja Bali. Dadekya yudha nira kawalya rumebut yacawiryya mwang ahyun pinuja” (ada pertalian kekerabatan antara Sriwijaya, raja Sunda, raja Wurawari, raja Jawa Dharmawangsa Teguh dan raja Bali. Jadi, peperangan diantara mereka itu hanyalah perebutan kemashuran dan ingin dipuja).

Ketika peristiwa pembunuhan Darmawangsa, Sri Jayabhupati masih berkedudukan sebagai putra mahkota. Tentu menjadikan posisinya menjadi pelik bagi Sunda. Disisi lain Pustaka Nusantara I/3 menjelaskan, bahwa :

Lawan mangkana Sunda i Bhumi Jawa Kulwan nityacah dumadi wyawahara pantara ning rajaraja Criwijaya, Jawa, Cina, Cola mwang akweh manih rajya lenya. I sedeng raja haneng Bhumi Jawa Kulwan yatiku rajya Sunda lawan rajya Ghaluh tan ahyun ri sewaka ring sira kabeh, tan angga dumadi mandalika nira (Dengan demikian, Sunda di Bumi Jawa Barat selalu menjadi rebutan diantara raja-raja Sriwijaya, Jawa, Cina, Cola, serta negara-negara lain ; sedangkan raja di Bumi Jawa Barat yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh tidak mau tunduk kepada mereka semuanya, tidak ingin menjadi raja bawahan mereka).

Pasca Sri Jayabhupati
Sri Jayabupati wafat pada tahun 1042 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Darmaraja Jayamanahen Wisnumurti Sakala sundabuana, putranya yang dikenal pula dengan sebutan Sang Mokteng Winduraja, karena ia dimakamkan di Winduraja, Kecamatan Kawali, Ciamis. Dari posisi ini disinyalir, bahwa pusat kekuasaan Sunda waktu itu berpusat disebelah timur, tidak di Pakuan.

Posisi Desa Winduraja di Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis saat ini diyakini menyimpan misteri kepurbakalaan, bahkan dengan dimakamkannya Darmaraja dilokasi ini disinyalir pemerintahan Sunda pernah terletak di kawasan timur, tidak di Pakuan. Data lokasi tersebut didukung pula dengan adanya makam Prabu Darmakusuma (1157 - 1175 M) yang dipusarakan di Winduraja.

Prabu Darmaraja digantikan oleh puteranya yaitu Prabu Langlangbumi (1065 - 1155 M) atau sang mokteng Kerta. Mungkin sekali salah seorang cucunya diperisteri oleh penguasa Kadiri – Janggala, yakni Maharaja Jayabuana Kesanananta Wikramo tunggadewa (1102 - 1104 M) atau Prabu Surya Amiluhur. Raja ini hanya dua tahun memerintah karena kekuasaannya direbut oleh Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Prabu Jayabuana melarikan diri ke Jawa Barat karena permaisurinya berasal dari sini. Mungkin tokoh inilah yang disebut Prabu Banjaransari, pelarian dari Kediri sebagaiamana yang diceritakan dalam Babad Galuh.

Para pengganti Sri Jayabupati, menurut Fragmen Carita Parahyangan sampai dengan Prabu Maharaja, di uraikan sebagai berikut :

· Pengganti Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun. - Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapan puluh dua taun, lantaran ngukuhan kana lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah. - Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas taun. - Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun sanghiang binajapanti. - Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahiangan. - "Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa. - Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun. - Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun. - Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun. - Nu hilang di Kiding, lilana jadi ratu tujuh taun. - Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun. - Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.
Cag Heula (*).

Sumber bacaan :
· Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.

· Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten, Bandung - 2005

· Tjarita Parahjangan, Drs.Atja, Jajasan Kebudayaan Nusalarang, Bandung- 1968.

· wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Galuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar