Selasa, 13 Juli 2010

Sri Baduga Maharaja



Jayadewata bertahta memerintah wilayah kerajaan Pajajaran pada tahun 1404 sampai dengan 1443 saka, atau pada tahun 1482 sampai dengan 1521 masehi, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.

Jayadewata sebelum bertahta sebagai raja Pajajaran ia menyandang predikat Putra Mahkota di Kawali dan Prabu Anom di Pakuan, karena ia putra raja Sunda Kawali (Dewa Niskala), dan sekaligus menantu raja Sunda Pakuan (Prabu Susuktunggal).

Didalam Babad Tanah Jawi dijelaskan :

ing tahun 1433 Sang Ratu Dewa iya Raja Purana, ngadegake kutha anyar aran Pakuan. Karajan iki aran Pajajaran. Tulisan kang ana ing watu kono nerangake manawa Sang Prabu yasa segaran. Pajajaran semune krajan rada gedhe lan ngerehake Cirebon barang.


Penulis Carita Parahyangan menujukan keberadaan sebagai pengganti Wastu Kancana. Kisah tersebut menyebutkan pula tentang eksistensinya, sebagai berikut :

Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilu puluh salapan taun. / Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.


Jayadewata memiliki banyak gelar, diantaranya gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Di Jawa Barat Sri Baduga lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Menurut Pangeran Wangsakerta, : hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".


Pemberian nama Siliwangi menurut tradisi lama dikarenakan orang segan (teu wasa) atau tidak sopan (belegug) menyebut nama raja yang dihormatinya sesuai dengan nama sesungguhnya, sehingga juru pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Nama Siliwangi selanjutnya dikenal pula sebagai tokoh sastra, seperti yang tercatat dalam kropak 630 sebagai lakon pantun, ditulis pada tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup.

Kisah Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah perjalanan Pamanahrasa atau Siliwangi menjadi raja di Pakuan. Namun memang ada beberapa hal yang perlu ditafsirkan mengingat sangat syarat dengan simbol-simbol, seperti penyebutan Sumedang Larang sebagai muasalnya dan menempatkan Anggalarang sebagai raja di Sumedang Larang.

Alasan lain tentang penyebutan Siliwangi menurut Wangsakerta karena dalam hal kekuasaan ia setingkat dengan Prabu Wangi (Linggabuana) dan Prabu Wangisuta (Wastu Kancana). Di dalam naskah Kertabahumi 1/5 h. 22/23 ditegaskan, :

“Cri Baduga Maharaja atyantakaweh yasa nira ring nagara Sunda. Swabhawa Matangyan sira pramanaran Prabu Ciliwangi mapan sira sumilihaken kacakrawrtyan Sang Prabhu Wangi ya ta sang mokteng Bubat lawan Sang Prabhu Wangisuta ya ta sang mokteng Nusalarang”


(Sri Baduga Maharaja sangat banyak jasanya terhadap negeri Sunda. Kekuasaanya seolah-olah tidak berbeda dengan Sang Prabu Maharaja yang gugur di Bubat. Itulah sebabnya ia digelari Prabu Siliwangi karena menggantikan pemerintahan Sang Prabu Wangi yaitu yang gugur di Bubat dan Sang Prabu Wangisuta yaitu mendiang di Nusa Larang) [RPMSJB, Jilid Keempat, h. 3]

Tokoh Cerita Sastra
Jayadewata dalam kapasitasnya sebagai Siliwangi dikenal melalui cerita sastra, baik melalui nyanyian anak-anak yang lengkap dengan kejayaannya di Pajajajaran maupun dalam sirsilah keluarga menak, cerita babad, pantun dan wawacan. Kisah dan kebesaran Siliwangi didalam cerita ini terkenal jauh sebelum ditemukannya prasasti Batu Tulis dan Kebantenan, sehingga penfsiran bahwa sejarah Sunda merupakan rekaan Belanda menjadi tidak beralasan.

Menurut Holle (1867 : 457), didalam naskah kuna yang bernama Siksa Kandang Karesyan menyebutkan beberapa caerita pantun, yaitu Angga Larang, Babakcatra, Siliwangi dan Haturwangi. Naskah ini diberi candra sangkala nora catur sagara wulan atau sama dengan angka 1440 Saka atau tahun 1518 masehi. (Sutaarga, 1966 : 15). Naskah dan candra sangkala ini menunjukan, penokohan Siliwangi sudah dilakukan ketika masa Siliwangi masih jumeneng. Namun sayangnya, cerita-cerita pantun yang judulnya tercantum dalam naskah Siksa Kandang Karesyan tersebut saat ini tidak lagi ditemukan, kecuali hanya berupa cerita Pantun, itu pun hampir punah ditelan jaman.

Tentang biografi Siliwangi sampai saat ini baru ditemukan beberapa naskah yang disimpan di Museum Pusat – Jakarta yang ditulis pada pertengahan abad 19, yakni Babad Pajajaran lima jilid yang ditulis dalam bahasa dan tulisan jawa dari pertengahan abad 19 dan naskah Ceritera Prabu Anggalarang yang ditulis dalam bahasa latin, berasal dari Ciamis.

Amir Sutaarga (1966 : 17) secara singkat menguraikan tentang wawacan dan naskah-naskah tersebut, namun tidak dapat ditampilkan dalam bahasan ini, mengingat pada panjangnya tulisan tersebut. Judul tulisan yang tertera dalam buku itu berjudul (1) Ceritera Prabu Anggalarang ; (2) Babad Siliwangi ; (3) Babad Pajajaran dan (4) Wawacan Cariosan Prabu Siliwangi. (ibid, hal 22).

Kesejarahan Siliwangi dari Ceritra, Wawacan dan Babad dapat disimpulkan, sebagai berikut : (1) Prabu Siliwangi putra Prabu Wangi atau Prabu Anggalarang (2) Prabu Siliwangi telah mengalami kisah hidup dan keprihatinan (3) Prabu Siliwangu dianggap berparas elok dan berwatak baik (4) Prabu Siliwangi banyak melakukan peperangan dan perkawinan politis sehingga dapat mengkonsolidasikan Pajajaran (5) Prabu Siliwangi tidak menggantikan langsung Prabu Anggalarang, melainkan melalui kepala pemerintahan perantara [mungkin juga istilahnya raja panyelang] (6) Prabu Siliwangi didalam wawacan Sulanjana dijadikan mitos padi dan lambang kesuburan di Sunda.

Penyusunan naskah babad, wawacan dan karya sastra yang dibuat pada jaman dan daerah yang berbeda tentunya juga akan sangat berpengaruh terhadap munculnya perbedaan dalam menyusun sirsilah Siliwangi. Seperti nampak perbedaan sirsilah yang dimuat dalam Babad Pajajaran dan Babad Galuh. Tidak heran jika dikemudian hari muncul perdebatan tentang siapa Siliwang tersebut, bahkan sulit dibedakan antara Prabu Wangi ; Prabu Wangisuta ; dan Prabu Siliwangi sendiri.

Banyak para menak jaman baheula yang menyusun sirsilah keluarganya dengan mengaitkan nama Siliwangi. Hal ini mudah di pahami mengingat Siliwangi memiliki banyak keturunan, dari istri-istri putri para penguasa daerah. Selain hal tersebut, terutama hubungannya dengan masalah politik, pada jaman Belanda siapapun yang dapat menjadi penguasa daerah (bupati) di tatar Sunda haruslah berdarah biru, keturunan menak Pajajaran, alias keturunan Prabu Siliwangi. Salah satu contoh sirsilah ini dimuat didalam Kropak 421, salah satu cuplikannya, sebagai berikut :

Punika Prabu Siliwangi, Puputra Mundingsari Ageung, / Puputra Mundingsari Leutik, / Puputra Raden Panglurah, / Puputra Sunan Dampal, / Puputra Sunan Genteng, / Puputra Wanaperih, / Puputra Sunan Ciptarengga, / Puputra Satonga Asta, / Puputra Eyang Wargasita / Saderekna Ki Enjot Nayawangsa, / Ki Entol Panji, / Sadulurna Nyi Asta, / Ki Dipati Talaga, / Ki Arya Saringringan, / Ki Mas Yudamardawa, / Ki Mas Badapati, / Ki Mas Wangsakusumah / ....... (Sudarsa dan Edi : 2006).


Sirsilah Prabu Siliwangi saat ini banyak merujuk dan menggabungkan pada naskah Carita Parahyangan ; Pararathon (Brandes 1920 : 36-37) dan Sejarah Banten (Djajadiningrat 1913 : 90 dan 1318). Ketiga naskah tersebut bertolak dari masa perang bubat (1279 saka/1357M) sampai dengan burakna Pajajaran (1501 saka/1579 M). Sirsilah tersebut telah beberapa kali di uji coba melalui cara membandingkan dengan prasasti yang ditemukan. Menurut Amir Sutaarga (1966), sirsilah tersebut, sebagai berikut :

1 1350 - 1357 Prabu Maharaja
2 1357 - 1363 Masa Peralihan Hyang Bunisora
3 1363 - 1467 Prabu Niskala Wastu Kancana
4 1467 - 1474 Rahiyang Dewa Niskala
5 1474 - 1513 Sri Baduga Maharaja
6 1513 - 1527 Prabu Surawisesa
7 1527 - 1535 Prabu Ratu Dewata
8 1535 - 1543 Sang Ratu Saksi
9 1543 - 1559 Prabu Ratu Carita
10 1559 - 1579 Nu Sia Mulya atau Prabu Seda

Memindahkan Ibukota
Jayadewata sampai pada tahun 1482 masih memusatkan kegiatan pemerintahannya di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 - 1482 adalah Jaman Sunda Kawali, selanjutnya pemerintahan di pindahkan ke Pakuan, bertepatan dengan diistrenannya Jayadewata sebagai raja Sunda di Pakuan.

Khusus kekuasaannya di Pakuan, jika mengacu kedalam tulisan Amir Sutaarga sejak tahun 1474 – 1513 masehi. Hal tersebut ia cantumkan dalam tulisannya, tentang Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513.

Pajajaran pada masa Jayadewata memiliki luas melebihi luas jawa barat sekarang. Menurut naskah Bujangga Manik sampai ke tungtung Sunda (Tegal, Cipamali) dan daerah Banyumas (Pasir Luhur) atau bekas kerajaan Pasir.

Pada masa itu Raden Banyakcatra, atau Kamandaka, putra Siliwangi diangkat mantu oleh raja Pasir dan menurunkan raja-raja Pasir. Hal ini dapat dibuktikan dari babad Pasir (Kenbel, 1900), namun sekarang nama-nama yang berkonotasi Sunda sudah mulai berubah, dan berangsur-angsur diganti dengan kata-kata Jawa.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali. Penobatan yang pertama dilakukan ketika menerima Tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala, kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana, kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Prabu Susuktunggal. Adanya peristiwa demikian menyebabkan ia secara praktis menguasai seluruh tatar Sunda dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Urang Sunda sering pacaruk untuk membedakan Prabu Siliwangi dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja Lingga Buana yang gugur di Bubat. Urang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana.

Di dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah ‘seuweu’ Prabu Wangi atau putra Prabu Wangi, sedangkan Sri Baduga atau Siliwangi adalah putra Wastu Kancana. Mengapa Dewa Niskala, ayah Sri Baduga dilewati ?. Padahal ia pun dikisahkan di dalamnya. Hal ini dikarenakan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh, sedangkan Sri Baduga memiliki kekuasaan yang sama dengan Wastu Kancana, dengan demikian maka Sri Baduga dianggap sebagai penerus langsung dari tahta Wastu Kancana.

Alasan diatas dikemukakan juga di dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/4, bahwa : ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja, sama seperti kakeknya, Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh.

Didalam membahas tentang Prabu Siliwangi Amir Sutaarga (1965) mengutarakan, Sri Baduga dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Pada masa pemerintahan Sri Baduga kerajaan Pajajaran mencapai masa keemasan. Penulis Carita Parahyangan menjelaskan sebab-sebabnya, yakni :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa" (disebabkan melaksanakan pemerintahan yang berdasarkan purbatisti purbajati, tidak pernah kedatangan musuh kuat atau musuh halus. Tentram disebelah utara, selatan, barat dan timur).


Tentang Sri Baduga didapatkan pula berita dari naskah luar, seperti yang dicatat oleh Tome Pires yang ikut dalam perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis. Ia mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar : "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Selain laporan tersebut, didalam Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18, ditulis dalam bahasa Jawa dan huruf Arab, pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila Sri Baduga diabadikan kebesarannya oleh para penggantinya dan rakyat Sunda dari masa kemasa.

Tentang kesuburan Pajajaran pada masa Siliwangi dilantunkan Ki Baju Rombeng seorang Juru Pantun dari Bogor Selatan, yang hidup pada awal ke 20 menuturkan :

Talang tulung keur Pajajaran / jaman aya keneh kuwarabekti / jaman guru bumi di pusti-pusti / jaman leuit tangtu eusina metu / euweuh nu tani mudu ngijon / euweuh nu tani nandonkeun karang / euweuh nu tan paeh ku jengkel / euweuh nu tani modar ku lapar.


(masih mending waktu Pajajaran / ketika masih ada kuwarabekti / ketika guru bumi dipuja-puja / ketika lumbung padi melimpah ruah / tiada petani perlu mengijon / tiada petani harus mati kelaparan / tiada petani harus mati karena kesal / tiada hatus petani mati karena lapar). (***)


Sumber Bacaan :


Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Taru Haji Di Pakwan Pajajaran 1474 – 1513, Amir Sutaarga, Pustaka Jaya, Bandung - 1966.


Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) - Jilid 1, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung, Cet Kedua – 2005


Kebudayaan Sunda – Zaman Pajajaran – Jilid 2, Ekadjati, Pustaka Jaya, Bandung – 2005.


Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid 2 dan 3, Tjetjep, SH dkk, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.


Yoseph Iskandar. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa), Geger Sunten, Bandung – 2005.


Sejarah Bogor – bagian 1, Saleh Danasasmita. Pemda DT II Bogor – 1983 – di copy dari pasundan.homestead.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar